Satu sisi _ sebagian orang tua mengeluh bagaimana tidak mandirinya anak mereka. Baik dalam rentang usia 4- 6 tahun, 7 - 10 tahun, 11 - 15 tahun bahkan hingga anaknya menjadi seorang sarjana dan menikah . Tentu saja dengan bentuk ketidakmandirian yang berbeda, namun kategorinya masih sama : "tidak mandiri".
Di satu sisi, anak juga mengeluhkan bahwa sebagian orang tua mereka terlalu protektif. Mereka tidak bebas mengambil keputusan. Terlalu khawatir jika akan mengadakan perjalanan yang sedikit menantang. Bahkan untuk perjalanan wisata saja, orang tua mereka sibuk menelepon dan menanyakan "sudah sampai mana".
Ketidakmandirian dimulai , pertama _saat anak tidak diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah. Saat orang tua melihat anaknya bertemu kesulitan, maka mereka menganggap anak harus dibantu. Apalagi orang tua merasa memiliki pengalaman dan ketrampilan yang lebih dari anaknya. Contoh, saat anak usia 4 tahun kesulitan membuka baju saat mau mandi, emak akan langsung hadir untuk membukakan bajunya karena tak mau melihat anaknya berlama-lama membuka baju. Anak usia 10 tahun terlihat kesulitan membuat prakaryanya, hadirlah emak untuk menyelesaikannya. Sebenarnya sang anak bisa saja menyelesaikan, namun karena hasil yang kurang sempurna , tak rela sang emak membiarkan anaknya mendapat nilai rendah.
Ada pula anak usia 16 tahun yang akan masuk sekolah menengah lanjutan. Saat ia diminta mencari beberapa barang sekaligus membuat produk oleh sekolah saat MOS, orang tua dengan sigap memenuhi kebutuhan si anak. Tak jarang saat masanya MOS, orang tualah yang kelelahan. Apa daya, sikap ini muncul bisa jadi karena orang tua tidak ingin anaknya kelelahan atau menderita karena kena hukuman. Ehehe seingat saya dulu tidak ada satupun barang yang disiapkan kedua orang tua saat saya MOS. Sepulang MOS, biasanya saya dan teman-teman harus mencari dulu barang yang diminta kakak kelas. Bisa jadi sampai rumah selepas magrib. Tapi itu pun jarang. Banyak cara yang akhirnya kami temukan untuk mendapatkan itu semua. Kadang saya dan teman-teman pasrah mendapat hukuman karena kami tidak menemukan barang yang dicari. Dan hidup kita terus berjalan loh.
Kedua_Ketidakmandirian disebabkan pula karena anak tidak diberi kesempatan memilih. Dengan dalih orang dewasa lebih paham akan masa depan anak. Anak usia 10 tahun tidak diberi kesempatan memilih warna cat kamarnya. Anak usia 15 tahun tidak diijinkan memilih pakaian yang akan mereka bawa. Masuk dunia perkuliahan, para orang tua kembali memberikan intervensi tentang jurusan apa yang harus dipilih anak-anaknya. Alih-alih menjelaskan dan membuka diskusi dengan anak, namun sebagian orang tua justru lebih suka memaksa mereka untuk memilih jurusan dan kampus yang dianggap terbaik. Dan keadaan ini membuat anak semakin tidak mengenal dirinya.
Ketiga_ketidakmandirian muncul karena anak tidak berikan kesempatan untuk mengambil keputusan. Mengambil keputusan itu ya satu paket dengan menyiapkan mereka akan resiko. Nah ini yang seru. Sering sih orang tua bilang "terserah kamu deh, tapi nanti kalau gagal, tanggung sendiri !". Diucapkan biasanya setelah gagal memaksakan kehendak kepada anaknya sehingga orang tua menyerahkan keputusan pada mereka namun dengan nada tinggi dan sedikit mengancam.
Apa resiko yang terjadi saat anak tidak mandiri ?
Bukankah hidup ini membutuhkan banyak periode untuk menentukan jalan yang akan dipilih? Bahkan diamnya sseorang itupun adalah sebuah keputusan. Saya banyak menemui mahasiswa yang menemukan banyak kesulitan semata-mata bukan karena menghadapi mata kuliahnya di kampus. Namun menghadapi kendala di luar kampus. Harus pindah kost, sakit maag karena makan tidak teratur dengan alasan sulit mencari makanan di kampus. Orang tua masih harus mensuplai rutin kebutuhan anak kostnya. Ada pula mahasiswa baru yang menangis dan meminta orang tuanya datang ke kampus karena ia gagal log in untuk pembuatan kartu mahasiswa. Juga beberapa mahasiswa yang DO karena mereka lebih asyik dan terbuai akan kehidupan sosialnya di tempat yang baru. Bukankah itu tentang bagaimana mereka memiliki kemampuan mengambil keputusan ?
Banyak sarjana yang telah lulus, namun ibunyalah yang sibuk mencarikan kerja. Bahkan saat sudah diterima pekerjaan, menandatangani kontrak, tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan pekerjaan dengan alasan orang tua merasa keberatan dengan gaji yang ia terima. "Terlalu kecil" kata orang tuanya.
Semua ini adalah tentang bagaimana seharusnya mereka mendapatkan ilmu yang tangible dengan tidak melupakan ilmu yang intangable. Tangible knowledge adalah bentuk pengetahuan yang berwujud, seperti buku, guru mengajar atau video pembelajaran. Tangible knowledge mudah diperoleh dan dipelajari. Pun kita mau belajar memasak, ada buku resep yang bisa kita pelajari.
Intangible knowledge adalah pengetahuan yang tidak berwujud. Pengetahuan ini didapat apabila anak hadir dan terlibat dalam proses belajar bersama ahlinya. Beberapa kegiatan yang memiliki ilmu intangible adalah magang. Dalam kegiatan magang, anak memahami langsung proses pembuatan produk tertentu langsung dengan ahlinya. Misalkan anak kita magangkan di sebuah toko kue. Bagaimana membuat adonan menjadi kalis, tentu membutuhkan teknik tertentu yang perlu berulang serta pengamatan sungguh-sungguh oleh anak.
Melepaskan anak-anak untuk mandiri melakukan perjalanan juga akan mendapatkan intangible knowledge. Buatlah kelompok-kelompok kecil agar mereka tidak sendiri. Ajarkan di dalam kelas atau di rumahmu ketarampilan apa yang perlu dimiliki saat mereka melakukan perjalanan menggunakan transportasi umum. Dimulai dari memahami lingkung terkecil yaitu kota dimana mereka tinggal. Bagaimana memahami peta. Bangunan apa saja yang bisa dijadikan patokan saat mereka memasuki daerah yang baru dikenal. Ada tempat-tempat apa saja yang bisa dikunjungi. Apa yang harus mereka lakukan saat tersesat. Itu semua ilmu yang bersifat tangibel.
Saat mereka melakukan perjalanan, akan ada komunikasi yang terjadi antara anak dengan orang lain saat bertanya. Bagaimana orang lain merespon pertanyaan anak, itu adalah ilmu yang intangible. Bagaimana merespon sebuah kejadian, kecepatan pengambilan keputusan serta ketrampilan berkomunikasi akan didapat dari sebuah perjalanan. Kami menyebutnya bagaimana anak dididik untuk menjadi musafir. Dan di dalam sebuah perjalanan, seluruh panca indera anak akan bertemu dengan banyaknya kebesaran Allah SWT. Kaidah-kaidah ilmu syariatpun akan teraplikasikan. Contoh, mereka akan melakukan sholat jama, qasar, bahkan tayamum.
Sungguh, kekuatan orang tua untuk melepas anaknya adalah pelajaran kemandirian yang sangat berarti. Berikan mereka kepercayaan. Kegagalan adalah pelajaran berharga bagi anak dalam mengenal kehidupan. Kesulitan, halangan, masalah memang perlu dipertemukan dengan mereka Bukankah Allah di dalam banyak ayat-ayatnya meminta kita untuk menggunakan akal?
Bahkan Buya Hamka menuliskan salah satu cara menjaga kesehatan jiwa adalah dengan memberikan pengasahan otak setiap hari. Jika otak dibiarkan menganggur berpikir, maka kita akan ditimpa penyakit yaitu menjadi bingung. Tiap-tiap otak senantiasa perlu diperbaiki. Maka ajarkanlah kekuatan berpikir dari kecil. Karena orang yang kuat berpikirnyalah yang akan dapat mengambil hikmah.
Pikir berdekatan dengan pengalaman. Buya Hamka mengatakan seorang pemikir yang bepengalaman, akan bisa mengambil natijah (kesimpulan) suatu perkara dengan segera saat orang lain memandang masalah itu besar dan sulit. Karena pikiran dan pengalamannyalah , dia sudah biasa menjalankan manthiq (logika). Dan manusia yang sudah terbiasa mengolah pikirannya, memiliki pengalaman, maka akan menambah kesempurnaan jika dia berilmu.
Posting Komentar
Posting Komentar